Selasa, 29 September 2009


Bookmark and Share

Rabu, 23 September 2009

Oase Merindu

Miss You Myspace Comments
MyNiceSpace.com
Bookmark and Share

Selasa, 22 September 2009

Mari Tengok Ke Belakang Untuk Maju Ke Depan

Beberapa menit lagi tahun 2008 akan kita tinggalkan, dan kita akan melangkah ke tahun 2009. Di luar sana banyak yang melakukan pesta untuk menyambut detik-detik datangnya tahun 2009. Tapi apakah pesta itu perlu dilakukan? Baik, di sini aku tidak akan membahas masalah urgensi pesta menyambut datangnya tahun baru. Yang lebih penting menurut aku, bagaimana kita memanfaatkan momen ini untuk merenung dan berpikir maju.

Mari kita tengok ke belakang. Apa sajakah yang sudah kita lakukan selama tahun 2008 ini? Seberapa besar manfaat yang sudah kita berikan untuk orang lain? Seberapa besar waktu yang kita miliki untuk meraih kemuliaan yang sesungguhnya? Dan macam pertanyaan lain yang bisa kita tentukan sendiri, tergantung kita masing-masing. Tentunya ini sebuah perntanyaan yang bisa menuntun kita pada sebuah parameter keberhasilan perjalanan hidup kita selama 2008. Kalau sudah begini, seberapa maju langkah kita jika dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya? Pastinya, cuma diri kita yang bisa menjawabnya.

Sekarang, mari kita melangkah maju ke depan. Kalau kita semua sudah tahu, paham dan sadar akan kelemahan dan kelebihan kita. Mari kita lakukan perubahan. Yang kemaren jelek, mari diperbaiki. Yang kemaren sudah baik, mari dipertahankan dan dibuat semakin baik lagi. Mari kita buat planning di tahun mendatang. Dengan ini, kita akan mempunyai rel/ targetan yang jelas dalam melangkah.

So, mari kita bersama menginstrospeksi diri untuk menyusun sebuah proyeksi di tahun mendatang. Ada sebuah ungkapan (bahkan kalau gak salah adalah sebuah hadits), “Kalau hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka termasuk orang yang beruntung. Kalau hari ini sama dengan kemarin, maka termasuk orang merugi. Dan, kalau hari ini lebih buruk dari kemarin, maka termasuk golongan orang celaka”. Tidak mau kan merugi? Apalagi celaka..

Selamat Tahun Baru 2009.
Semoga kita menjadi orang yang beruntung.
Bookmark and Share

Kamis, 17 September 2009

SBY Kepada Khamenei: Sikap Indonesia di DK PBB Hasil Perenungan

Presiden RI Susilo Bambang YUdhoyono hari Selasa (11/3) sore waktu setempat mengunjungi Supreme Leader atau pemimpin tertinggi spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei, di kantornya yang berada di kota Teheran.


SBY bertemu dengan imam tertinggi Iran itu, didampingi Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad. Turut pula mendampingi Presiden adalah Menlu Hassan Wirajuda, Mensesneg Hatta Rajasa, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Wakil Ketua DPD-RI Erman Gusman, serta anggota DPR-RI, Arief Mudasir.


Pertemuan berlangsung akrab, sekitar 1 jam. Ayatollah Ali Hosayni Khamenei lahir bulan Juli tahun 1939, Mashhad, Provinsi Razavi Khorasan. (win, nas)

Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah Ali Khamenei menyatakan, dengan persatuan dan perluasan kerjasama ilmiah, ekonomi, budaya, dan diplomatik, dunia Islam dapat berubah menjadi kekuatan besar.

Ali Khamenei menilai AS selalu menggunakan logika represif seraya mengatakan, menyerah di hadapan kaum arogan hanya akan menimbulkan keterbelakangan.

Ali Khamenei menilai sikap pemerintah Indonesia terkait resolusi baru anti-Iran oleh Dewan Keamanan PBB sebagai sebuah langkah berani. Ditegaskan beliau , “Sudah pasti keputusan ini akan meningkatkan kredibilitas bangsa dan pemerintah”. Indonesia menyatakan abstain terhadap resolusi anti-Iran oleh Dewan Keamanan PBB yang dirilis beberapa waktu lalu.

Di bagian lain pernyataannya, Ali Khamenei menandaskan, Gerakan Non-Blok merupakan simbol independensi negara-negara dunia. Beliau juga berharap gerakan ini terus tampil proaktif sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan.

Menyinggung upaya AS dan Zionis-Israel untuk memberangus bangsa Palestina, Ali Khamenei mengatakan, “Perjuangan bangsa Palestina menunjukkan bahwa bangsa ini hidup dan berani, dan dunia Islam harus mendukung mereka”.

Di lain pihak, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada pertemuan tersebut menilai sikap pemerintah Indonesia terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai hasil dari perenungan dan pemikiran yang telah dilakukan sebelumnya.

SBY mengatakan, “Di Dewan Keamanan PBB, Indonesia mengambil sikap yang berbeda tentang kasus nuklir Iran mengingat tidak ada alasan untuk menjatuhkan sanksi terhadap Tehran.” Ditegaskannya pula bahwa masalah ini harus dipandang sebagai bagian dari masalah teknis di Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Ia menambahkan, perlawanan terhadap unilateralisme, ketidakadilan di dunia, serta perluasan kerjasama dengan negara-negara Islam dan anggota GNB merupakan bagian dari prioritas politik Indonesia.

Menyinggung kekayaan khazanah budaya dan peradaban Iran, SBY menyampaikan kesiapan Indonesia untuk memperluas kerjasama di berbagai bidang dan keinginan Jakarta untuk menimba pengalaman ilmiah Tehran.
Bookmark and Share

100 Orang Paling Berpengaruh Versi Time Magazine

Memasuki 2008, majalah Time meluncurkan edisi khusus dengan mencantumkan 100 manusia paling berpengaruh di dunia dalam beberapa kategori selama 2007.

Ada beberapa nama yang memang secara faktual berpengaruh seperti Hu Jintao dan Ali Khamenei, namun ada pula beberapa nama yang terasa disisipkan sebagai bagian dari propaganda Amerika. Menggelikan, ketika nama super populer Ahamdinejad tidak tercantum di dalamnya.

Berikut nama-namanya:

Pemimpin dan Revolusionaris

Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud

Archbishop Peter Akinola

Omar Hassan al-Bashir

Pope Benedict XVI

Osama bin Laden

Michael Bloomberg

Raul Castro

Hillary Clinton

Queen Elizabeth II

Sonia Gandhi

Hu Jintao

Ayatullah Ali Khamenei

Liu Qi

Tzipi Livni

Angela Merkel

Barack Obama

Nancy Pelosi

General David Petraeus

Condoleezza Rice

John Roberts

Arnold Schwarzenegger

Pahlawan dan Pionir

Maher Arar

Wesley Autrey

Tyra Banks

Warren Buffet

Youk Chhang

George Clooney

Tony Dungy

Elizabeth Edwards

Drew Gilpin Faust

Roger Federer

Michael J. Fox

Timothy Gittins

Thierry Henry

Garry Kasparov

Amr Khaled

Judith Mackay

Chien-Ming Wang

Oprah Winfrey

Zeng Jinyan

Ilmuwan dan Pemikir

Paul Allen

Chris Anderson

Elizabeth Blackburn

Richard Dawkins

Frans de Waal

Al Gore

Monty Jones

John Mather

Douglas Melton

Steven Nissen

Tullis Onsott

Svante Paabo

Lisa Randall

Klaus Schwab

Kari Stefansson

Alan Stern

Neil deGrasse Tyson

J. Craig Venter

Nora Volkow

Artis dan Penghibur

Cate Blanchett

Sacha Baron Cohen

Leonardo diCaprio

Alber elbaz

America Ferrera

Tina Fey

Simon Fuller

Brian Grazer

John Mayer

David Mitchell

Kate Moss

Youssou N’Dour

Anna Netrebko

Rosie O’Doneell

Brad Pitt

Shonda Rhimes

Nora Roberts

Rick Rubin

Martin Scorsese

Justin Timberlake

Kara Walker

Brian Williams

Pendiri dan Raksasa

Bernard Arnault

Richard Branson

Rhonda Byrne

Steven Cohen

Clara Furse

Ho Ching

Chad Hurley & Steven Chen

Steve Jobs

Ken Lewis

Erik Lie

Pony Ma

Lakshmi Mittal

Shigeru Miyamoto

Michael Moritz

Indra Nooyi

Cyril Ramaphosa

Philip Rosedale

Stephen Schwarzman

Katsuaki Watanabe

(http://www.time.com/time/specials/2007/time100)
Bookmark and Share

MAN Hormati Perempuan Tanpa Gembar Gembor Feminisme

Marzieh Marzieh Vahid-Dastjerdi adalah perempuan pertama yang menjadi menteri di Iran. Sebelumnya, perempuan mendapatkan posisi sebagai salah satu wakil presiden sejak Khatami hingga Ahmadinejad pada periode pertama.

Marzieh Vahid-Dastjerdi lahir di Teheran tahun 1959. Ia memang bukan perempuan sembarangan. Dia seorang guru besar di Universitas Teheran dan mantan anggota parlemen. Dia adalah menteri perempuan pertama di Iran sejak revolusi Iran tahun 1979, tetapi merupakan menteri perempuan ketiga sepanjang sejarah Iran setelah Farrokhroo Parsa dan Mahnaz Afkhami.

Marzieh mempelajari ilmu kedokteran di Universitas Teheran. Dia kemudian mengambil spesialisasi ginekologi dan terus mendalami bidang itu sehingga menjadi salah seorang pakar ginekolog di Iran. Karena itu, pencalonan dia oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad sebagai Menteri Kesehatan dan Pendidikan Medis memang sesuai dengan kapabilitas Marzieh.

Pada pemungutan suara di Majlis atau parlemen Iran, Marzieh mendapatkan dukungan 175 suara, 82 suara menolak, dan 29 suara abstain. Hasil itu berarti secara mayoritas anggota Majlis setuju dengan penunjukan Marzieh sebagai Menteri Kesehatan dan Pendidikan Medis.

Alireza Marandi, salah seorang anggota parlemen dari daerah pemilihan Teheran, seperti dikutip PressTV, mengungkapkan keyakinannya bahwa Marzieh Vahid-Dastjerdi akan berhasil dalam mewujudkan berbagai rencananya.

”Keadilan di bidang kesehatan adalah satu dari rencana paling penting dari Marzieh Vahid-Dastjerdi,” ungkapnya.

Aktivis sejak muda

Meski bukan seorang pesohor, reputasi Marzieh sebagai ginekolog sangat diakui. Sejak muda Marzieh juga merupakan aktivis yang giat menyuarakan kepentingan orang banyak. Pada tahun 1993, misalnya, dia bersama beberapa temannya mendirikan Asosiasi Dokter Islam, sebuah partai politik.

Sebelumnya, pada pemilihan umum tahun 1992, Marzieh terpilih menjadi anggota Majlis-e Shora-ye Islamic (Majelis Konsultatif Islam/Parlemen Iran) mewakili Teheran (1992-1996). Dia terpilih kembali sebagai anggota Majlis tahun 1996. Bahkan, Marzieh kemudian terpilih sebagai Ketua Komite Majlis untuk urusan Perempuan, Keluarga, dan Pemuda pada tahun 1997.

Sebagai politisi, Marzieh tidak menanggalkan karakter aktivisnya. Pada Mei 1999, misalnya, dia berpidato di depan sebuah aksi unjuk rasa di Teheran untuk memprotes larangan menggunakan jilbab di parlemen Turki. Dia mengecam keras pelarangan itu sebagai sebuah permusuhan terhadap Muslim dan sebuah kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Kiprahnya di parlemen pun cukup menonjol. Marzieh membantu menyusun sebuah rancangan aturan pemisahan pasien berdasarkan jenis kelamin di rumah sakit-rumah sakit dan lembaga-lembaga media agar sesuai dengan syariah.

Rencana itu, jika dijalankan, mengharuskan adanya rumah sakit-rumah sakit khusus untuk perempuan, dengan seluruh dokter, para perawat, dan anggota stafnya adalah perempuan. Itu secara otomatis merupakan upaya untuk meningkatkan derajat perempuan. Selain juga guna mendorong perempuan Iran untuk berpendidikan tinggi, berkeahlian, dan mempunyai keterampilan.

Akan tetapi, usulan itu kemudian ditolak karena alasan biaya, setelah mendapat banyak kritik dari para dokter dan tenaga-tenaga profesional kesehatan. Meski demikian, sebuah rencana untuk memisahkan rumah sakit di Iran berdasarkan jender, yang didasarkan atas usulan asli Marzieh tersebut, kemudian diberlakukan tahun 2006.

”Perempuan harus berperan lebih besar dalam urusan-urusan negara,” ungkap Marzieh ketika menempuh tahapan semacam uji kelayakan dan kepatutan di depan parlemen terkait pencalonannya sebagai menteri kesehatan.

Pemikiran Marzieh yang ingin memisahkan rumah sakit perempuan dengan rumah sakit laki-laki itu oleh beberapa kalangan diartikan sebagai pandangan yang konservatif. Oleh karena itulah, para pejuang hak-hak perempuan di Iran meragukan Marzieh akan giat memperjuangkan hak-hak perempuan Iran.

Kesehatan perempuan

Marzieh yang sebelumnya tidak pernah berkiprah di pemerintahan hadir di jajaran kabinet dengan sebuah rencana besar selama empat tahun masa jabatannya sebagai menteri kesehatan. Dia berjanji meningkatkan fokus sektor kesehatan pada ”Semua hal yang berkaitan dengan kesehatan perempuan.”

”Saya bermaksud memperluas cakupan asuransi kesehatan, berbagai fasilitas kesehatan di desa-desa, dan wilayah-wilayah yang dekat dengan perkotaan,” paparnya, seperti diberitakan portal bisnis Maktoob Business.

Lebih khusus Marzieh ingin agar Iran bisa meningkatkan ketahanan dan penanganan yang lebih baik atas penyakit-penyakit mematikan, seperti diabetes, kanker, gangguan jantung, dengan tanpa melupakan penyakit-penyakit menular, misalnya flu babi dan flu burung.

Terpilihnya Marzieh sebagai menteri kesehatan bermakna besar bagi sektor kesehatan Iran karena setengah dari pekerja di sektor ini adalah perempuan. Di samping itu, Iran juga memiliki sekitar 1,6 juta perempuan mahasiswi dan perempuan pelajar.

”Saya rasa kaum perempuan hari ini mencapai impian yang sudah lama dinantikan, yaitu mempunyai seorang perempuan di dalam kabinet, untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutan mereka. Ini adalah peristiwa langka dan penting bagi kaum perempuan. Oleh karena itulah, saya menegakkan kepala saya,” kata Marzieh, seperti dikutip surat kabar Gulf Daily News.

Bagi kalangan lebih luas, kehadiran Marzieh sebagai perempuan menteri kabinet akan memperkuat klaim-klaim Pemerintah Iran selama ini mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di negara republik Islam itu.

Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pun tanpa perlu berkampanye lebih keras langsung menunjukkan bahwa dirinya tidak antiperempuan sebagaimana digembar-gemborkan sejumlah media Barat.

Hal itu sekaligus menjadi bukti bahwa dalam ajaran agama Islam pun tidak ada segregasi antara laki-laki dan perempuan dalam banyak hal.(Sumber: Reuters/iranonline/BBC/Kompas)
Bookmark and Share

Minggu, 06 September 2009


Masalah Palestina menjadi sedemikian berlarut-larut tidak lepas dari “peran” negara-negara Muslim, khususnya negara-negara Arab, yang hanya bisa diam membisu menyaksikan kepongahan Israel. Para pemimpin negara-negara Arab—yang negara-negara mereka sebenarnya juga terancam terkena “penggusuran” proyek pendirian Israel Raya—malah berbondong-bondong, baik langsung maupun tidak langsung, mengakui eksistensi negara Israel dan menggantungkan nasib mereka pada Amerika Serikat, yang sejatinya merupakan induk semang Israel.

Di tengah-tengah ketidakacuhan para pemimpin Muslim itu, Imam Khomeini bangkit menyuarakan jihad melawan Amerika dan Israel. Selama masa hidupnya, Imam Khomeini selalu berada di garis depan perjuangan membela kaum tertindas, khususnya rakyat Palestina yang teraniaya.

Buku ini berisi pandangan Imam Khomeini mengenai masalah Palestina, yang dirangkum dari berbagai khotbah, ceramah, wawancara, maupun ucapan beliau. Dalam buku ini, Imam Khomeini benar-benar menumpahkan segala pikirannya mengenai permasalahan Palestina. Beliau juga sangat menekankan pentingnya persatuan negara-negara Muslim bagi penyelesaian masalah itu. Sebagaimana kata beliau, “Jika kaum Muslim bersatu dan masing-masing dari mereka mengguyurkan seember air pada Israel, maka Israel akan tersapu; namun masih saja mereka tak berdaya di hadapannya.”

Imam Khomeini, sebagaimana yang dapat dibaca dalam buku ini, jelas bukan sekadar seorang ulama atau penggerak salah satu revolusi terbesar di muka bumi ini. Beliau pada hakikatnya juga seorang futurolog yang memiliki kemampuan membaca dan memprediksi masa depan. Apa yang terjadi pada awal tahun 2000-an, terutama nasib tragis yang menimpa bangsa Palestina, Afghanistan, dan Irak, sudah jauh-jauh hari diperkirakan oleh Imam Khomeini. Namun, Imam tentu tak hanya mampu memprediksi, melainkan juga menawarkan solusi bagi bangsa-bangsa Muslim, khususnya bangsa Palestina.
—Dr. Riza Sihbudi

Imam Khomeini merupakan tokoh sentral dalam Revolusi Islam Iran 1979 yang mengubah secara fundamental tatanan politik, ekonomi, budaya domestik, regional, dan internasional. Buku ini merupakan buku pertama dalam bahasa Indonesia yang mengemukakan informasi mengenai ucapan, pandangan, dan sikap Imam Khomeini terhadap isu Palestina secara lengkap. Pandangan dan sikap Imam Khomeini terhadap isu Arab-Israel terasa relevan. Bangsa-bangsa Muslim harus bersatu menghadapi Israel. Perlu suatu terobosan politik yang berani dari negara-negara Arab dan Dunia Islam, sebagaimana diusulkan Imam Khomeini, dalam membantu rakyat Palestina.

keutamaan AL -IMAM ALI IBN ABI THALIB

Keilmuan Imam Ali Di Atas Abu Bakar, Umar, Utsman Dan Semua Sahabat Nabi Yang Lain

Imam Ali Alaihis Salam dikenal sebagai Pintu Kota Ilmu. Kedudukan Beliau dalam Ilmu melebihi semua sahabat Nabi yang lain termasuk ketiga khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Hanya para pendengki yang tidak rela kalau nama dan kedudukan Beliau melebihi semua sahabat Nabi yang lain. Imam Hasan bin Ali AS telah menegaskan kedudukan Imam Ali dalam salah satu khutbahnya sehari setelah meninggalnya Imam Ali AS.

Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad 1/199 no 1719
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن شريك عن أبي إسحاق عن هبيرة خطبنا الحسن بن على رضي الله عنه فقال لقد فارقكم رجل بالأمس لم يسبقه الأولون بعلم ولا يدركه الآخرون كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يبعثه بالراية جبريل عن يمينه وميكائيل عن شماله لا ينصرف حتى يفتح له

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Syarik dari Abi Ishaq dari Hubairah bahwa Hasan bin Ali berkhutbah kepada kami, Beliau berkata “Sungguh kemarin, seorang laki-laki telah meninggalkan kalian, dimana orang-orang terdahulu tidak dapat menandinginya dalam hal keilmuan dan orang-orang yang datang kemudian juga tidak dapat menyainginya. Rasulullah SAW telah mengutusnya untuk memegang bendera pasukan. Saat itu, Jibril berada di sebelah kanannya sedangkan Mika’il berada di sebelah kirinya. Dia tidak akan pulang hingga negeri (yang didatanginya) berhasil ditaklukan.

Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/199 no 1720
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن إسرائيل عن أبي إسحاق عن عمرو بن حبشي قال خطبنا الحسن بن علي بعد قتل علي رضي الله عنهما فقال لقد فارقكم رجل بالأمس ما سبقه الأولون بعلم ولا أدركه الآخرون ان كان رسول الله صلى الله عليه و سلم ليبعثه ويعطيه الراية فلا ينصرف حتى يفتح له وما ترك من صفراء ولا بيضاء الا سبعمائة درهم من عطائه كان يرصدها لخادم لأهله

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Israil dari Abi Ishaq dari Amr bin Hubsy yang berkata “Hasan bin Ali berkhutbah kepada kami setelah terbunuhnya Ali RA, Beliau berkata “Sungguh kemarin, seorang laki-laki telah meninggalkan kalian, dimana orang-orang terdahulu tidak dapat menandinginya dalam hal keilmuan dan orang-orang yang datang kemudian tidak dapat menyainginya. Jika Rasulullah SAW mengutusnya dan menyerahkan bendera pasukan kepadanya maka dia tidak akan pulang hingga negri itu berhasil ditaklukan. Dia tidak meninggalkan uang kuning (dinar) dan uang putih (dirham) kecuali 700 dirham yang merupakan pemberian Rasulullah dan telah dia persiapkan untuk pembantu keluarganya.

Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarh Musnad Ahmad no 1719 dan 1720 telah menyatakan kedua hadis di atas sebagai hadis shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Musnad Ahmad tahqiqnya menyatakan kedua hadis ini hasan. Hadis no 1720 juga disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Fadhail As Shahabah no 922 dan no 1013 dimana Syaikh Wasiullah bin Muhammad Abbas pentahqiq kitab Fadhail menyatakan bahwa kedua hadis tersebut shahih.

Hadis tersebut dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada satupun diantara semua sahabat Nabi yang lain dapat menandingi Ilmu Imam Ali bahkan tidak pula orang-orang yang datang kemudian. Hal ini merupakan bukti untuk kesekian kalinya bahwa Imam Ali adalah Pintu Kota Ilmu dan kedudukannya di atas semua sahabat termasuk ketiga khalifah. Anehnya cukup banyak orang-orang yang pura-pura lupa atau memang tidak tahu, mereka tetap meragukan Imam Ali, memisahkan diri dari Beliau, berdiam diri dan tidak memihak Imam Ali bahkan ada yang memerangi Beliau. Mereka adalah para pembangkang dan cukuplah Allah SWT sebaik-baik Hakim bagi mereka.

SOSOK AGUNG ALI BIN ABI THALIB kwh

Kisah Ashabul Kahfi – Bukti ketinggian ilmu Imam Ali bin Abi Thalib as

Dalam surat al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khidzir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.

Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.

Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-’Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya…..

Penulis kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:

إِذْ أَوَى الفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَا ءَاتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS al-Kahfi:10)
Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”

“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.

“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”

Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”

Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”

Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”

Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”

“Ya baik!” jawab mereka.

“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.

Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”

“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”

Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”

Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”

“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”

Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”

Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”

Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”

Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”

“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.

“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.

Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”

Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”

Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”

Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”

Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”

“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”

Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”

“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”

Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”

“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan. “Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ’siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”

“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”

“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.

Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.

Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar.”

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”

“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”

“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”

“Ya,” jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.”

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”

Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”

“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.”

Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”

Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”

Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”

Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”

Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”

“Aphesus,” sahut penjual roti itu.

“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.

“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”

Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”

Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”

“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”

Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang orang ini?”

“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.

Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”

Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”

Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”

“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.

“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.

“Ya, ada,” jawab Tamlikha.

“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.

Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”

“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?”

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”

Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”

“Aku Tamlikha anak Filistin!”

Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”

Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”

Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”

Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”

“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.

“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”

Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”

“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.

“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.

Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”

Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”

Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:

وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَانًا رَّبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا
Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka.” Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?”

Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!”

Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.